ANANG SUGIONO
Selasa, 02 Juni 2009
ILMU DALAM PRESPEKTIF ISLAM DAN BARAT
Pengantar
A. Hakekat dan Fungsi Ilmu
Dalam perbincangan sehari-hari terdapat beberapa kata yang semakna yaitu pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) adalah kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya mengenai suatu hal tertentu, sedangkan ilmu (sains, science) dalam pengertian sehari-hari tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam arti se¬sungguhnya yang dirujuk dari konsep Al Qur’an. Dalam pengertian sehari-hari ilmu adalah pengetahuan yang telah disistematisir, disusun teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
Ilmu (sains) diperoleh dan disusun tidak cukup hanya dari pencaman dan perenungan melainkan berkembang melalui pencerapan indera dan penginderaan (sensation), pengumpulan data, perbandingan data, penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran, dan penakaran meningkat dari data-data yang bersifat khusus menuju ke kesimpulan yang umum (induksi) atau sebaliknya, dari data yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus (deduksi). Ilmu (sains) sepenuhnya bersifat empirik. Sesuatu yang tidak bisa diindera, diukur, ditimbang atau dilihat tidak bisa menjadi obyek ilmu (sains). Kumpulan dari ilmu (sains) disebut dengan pengetahuan.
Isi
A. Ilmu menurut konsepsi Islam
Ilmu menurut konsepsi Islam secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu ilmu Allah yang mencakup segala sesuatu, termasuk yang dapat disaksikan oleh indera manusia maupun yang tidak bisa disaksikan oleh indera (gaib) yang hanya bisa diketahui oleh manusia lewat wahyu. Kedua adalah, ilmu manusia meliputi ilmu perole¬han dan ilmu laduni. Ilmu perolehan yang dapatkan lewat berbagai perenungan dan pembuktian, sedangkan ilmu laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih-Nya. Dalam hal ini, hanya mereka yang bersih dan suci hatinya yang berpel¬uang mendapatkan ilmu ini. Dan jika ia mendapatkan ilmu ini maka terkuaklah sebagian besar rahasia alam dan kehidupan di hadapannya. Sampai di sini cukup jelas bahwa kata ilmu dalam Al Qur’an tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam pengertian sehari-hari. Islam memandang bahwa terdapat kesatuan penciptaan, kesatuan pengaturan, dan kesatuan mekanisme dalam alam kehidupan. Salah satu tujuan ilmu adalah mengetahui hakekat realitas termasuk segala mekanisme di dalamnya baik untuk kepentingan pragmatis maupun untuk lebih jauh lagi untuk mengenal Sang Pencip¬ta. Ilmu menurut konsepsi Islam tidak melihat keterpisahan antara yang riil dan yang gaib, sebagai konsekuensinya Islam melihat bahwa peristiwa atau sebuah meka¬nisme alam tidak bisa dijelaskan hanya secara empirik sebagaimana dikemukakan oleh sains. Dengan demikian ilmu dalam pengertian sehari-hari yang tidak lebih sebatas sains, merupakan reduksi dan tidak mungkin mampu menca¬pai hakekat realitas. Anehnya sains (ilmu) yang hanya sebuah reduksi ini dipercaya mampu menjelaskan segala-galanya. Inilah barangkali salah satu penyebab perkem¬bangan sains tidak menambah kedekatan kita dengan Sang Pencipta, bahkan sebaliknya telah menimbulkan kerusakan kehidupan. Ilmu yang benar akan mampu meningkatkan ketakwaan seseorang terhadap Tuhannya. Salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifatullah fil ardl).
B. Epistimologi ilmu dalam konsep Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu. Dalam islam ada tiga Epistimologi untuk mengkonteruk ilmu, yaitu Epistomologi bayani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan batin dalam teks Al-Qur’an dan Al-hadits), epistimologi irfani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pengalaman langsung atas realitas spiritual) dan epistimologi burhani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pemikiran atas dasar rasio atau akal yang dilakukan dengan dalil-dalil logika)
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akherat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilm,u akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan benar tidaknya manusia dalam mencari kebenaran. Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium.
C. Ilmu menurut konsepsi Ilmuwan Barat
Dalam konsep barat, Ilmu itu berdiri dengan sendirinya, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengatahuan). Ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih daripada satu arti. Olah karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana yang untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Jadi dalam arti yang pertama ini ilmu seumumnya.
Terdapat bermacam-macam pengertian ilmu menurut ilmuwan barat. Yang salah satunya yakni pengertian ilmu menurut El-Baz yakni: Ilmu itu sifatnya menginternasional. Menurut Norman Campbell bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang berguna dan praktis dan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu dalam bentuk inilah yang memainkan suatu bagian begitu besar dalam penghancuran perang dan sebagaimana dituntut, harus memainkan suatu bagian sama besarnya dalam pemulihan perdamaian. Ilmu dapat berbuat untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan bahwa ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai motode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Sedangkan Ernan McMullin mengatakan bahwa ilmu adalah aktivitas manusia yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teologis.
D. Epistimologi ilmu dalam konsep Ilmuwan Barat
Dalam prespektif ilmuwan barat untuk memperoleh ilmu ada tiga faham, yaitu :Empirisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman dan pengindraan), Rasionalisme (cara memperoleh ilmu bersumber dari akal), Fenomenalisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman yang dihubungkan dengan akal) dan Intuisionisme (cara memperoleh ilmu melalui instuisi sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisis)
Peradaban Barat telah menjadikan ilmu sebagai problematis. Ilmu dalam Peradaban Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi dan ilmiah. Westernisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan, menolak Wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional sebagai basis keilmuan. Akibatnya, peradaban Barat telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia, (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan Kebenaran, (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, (4) membela doktrin Humanisme, (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Analisis
Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: alam ghaib (metaphysic) dan alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai Realitas Akhir.
Mengutip pandangan Ziauddin Sardar memberikan perbandingan dan ukuran-ukuran ilmu menurut Islam berbeda dengan menurut Barat, sebagai berikut : Ukuran ilmu dalam pandangan Barat: Percaya pada rasionalitas, ilmu untuk ilmu, Tidak memihak seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya, Tidak adanya bisa validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya, (Reduksionisme) cara yang dominan untuk mencapai kemajuan ilmu, (Individualisme) yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis, Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan. Sedangkan Ukuran ilmu dalam Islam: Percaya Pada wahyu, ilmu adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial, Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid, Pemihakan pada kebenaran yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, ibadah merupakan satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secaramoral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral, Adanya subjektivitas arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan ilmu bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihansubjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya, (Sintesa) cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai, Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya, Orientasi nilai, sains, sepertihalnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat, Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya tidak boleh dibuangbuang dan digunakan untuk kejahatan ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Referensi
Prof. S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta; P3M, 1986); Cf Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam (Bandung; Pustaka, 1986); M. Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung ; Mizan, 1992)
Al Qur’an Surat Al-Baqarah 29-30 dan Al Fathir 39
QS. Surat Al-Mujadalah :11
QS. . Al-Alaq:1-5
Zainuddin, Drs, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,Jakarta: Lintas Pustaka: 2006
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993), selanjutnya diringkas Islam and Secularism.
http://www.acehinstitute.org/opini_husni_islamisasi_ilmu_kontemporer.htm
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996
Jujun Suria Sumantri, 1982, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Kahsof, Lois, Elements of Philosophy, deterjemahkan oleh soejono soemargono, 2004, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Liberty.
A. Hakekat dan Fungsi Ilmu
Dalam perbincangan sehari-hari terdapat beberapa kata yang semakna yaitu pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) adalah kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya mengenai suatu hal tertentu, sedangkan ilmu (sains, science) dalam pengertian sehari-hari tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam arti se¬sungguhnya yang dirujuk dari konsep Al Qur’an. Dalam pengertian sehari-hari ilmu adalah pengetahuan yang telah disistematisir, disusun teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
Ilmu (sains) diperoleh dan disusun tidak cukup hanya dari pencaman dan perenungan melainkan berkembang melalui pencerapan indera dan penginderaan (sensation), pengumpulan data, perbandingan data, penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran, dan penakaran meningkat dari data-data yang bersifat khusus menuju ke kesimpulan yang umum (induksi) atau sebaliknya, dari data yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus (deduksi). Ilmu (sains) sepenuhnya bersifat empirik. Sesuatu yang tidak bisa diindera, diukur, ditimbang atau dilihat tidak bisa menjadi obyek ilmu (sains). Kumpulan dari ilmu (sains) disebut dengan pengetahuan.
Isi
A. Ilmu menurut konsepsi Islam
Ilmu menurut konsepsi Islam secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu ilmu Allah yang mencakup segala sesuatu, termasuk yang dapat disaksikan oleh indera manusia maupun yang tidak bisa disaksikan oleh indera (gaib) yang hanya bisa diketahui oleh manusia lewat wahyu. Kedua adalah, ilmu manusia meliputi ilmu perole¬han dan ilmu laduni. Ilmu perolehan yang dapatkan lewat berbagai perenungan dan pembuktian, sedangkan ilmu laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih-Nya. Dalam hal ini, hanya mereka yang bersih dan suci hatinya yang berpel¬uang mendapatkan ilmu ini. Dan jika ia mendapatkan ilmu ini maka terkuaklah sebagian besar rahasia alam dan kehidupan di hadapannya. Sampai di sini cukup jelas bahwa kata ilmu dalam Al Qur’an tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam pengertian sehari-hari. Islam memandang bahwa terdapat kesatuan penciptaan, kesatuan pengaturan, dan kesatuan mekanisme dalam alam kehidupan. Salah satu tujuan ilmu adalah mengetahui hakekat realitas termasuk segala mekanisme di dalamnya baik untuk kepentingan pragmatis maupun untuk lebih jauh lagi untuk mengenal Sang Pencip¬ta. Ilmu menurut konsepsi Islam tidak melihat keterpisahan antara yang riil dan yang gaib, sebagai konsekuensinya Islam melihat bahwa peristiwa atau sebuah meka¬nisme alam tidak bisa dijelaskan hanya secara empirik sebagaimana dikemukakan oleh sains. Dengan demikian ilmu dalam pengertian sehari-hari yang tidak lebih sebatas sains, merupakan reduksi dan tidak mungkin mampu menca¬pai hakekat realitas. Anehnya sains (ilmu) yang hanya sebuah reduksi ini dipercaya mampu menjelaskan segala-galanya. Inilah barangkali salah satu penyebab perkem¬bangan sains tidak menambah kedekatan kita dengan Sang Pencipta, bahkan sebaliknya telah menimbulkan kerusakan kehidupan. Ilmu yang benar akan mampu meningkatkan ketakwaan seseorang terhadap Tuhannya. Salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifatullah fil ardl).
B. Epistimologi ilmu dalam konsep Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu. Dalam islam ada tiga Epistimologi untuk mengkonteruk ilmu, yaitu Epistomologi bayani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan batin dalam teks Al-Qur’an dan Al-hadits), epistimologi irfani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pengalaman langsung atas realitas spiritual) dan epistimologi burhani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pemikiran atas dasar rasio atau akal yang dilakukan dengan dalil-dalil logika)
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akherat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilm,u akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan benar tidaknya manusia dalam mencari kebenaran. Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium.
C. Ilmu menurut konsepsi Ilmuwan Barat
Dalam konsep barat, Ilmu itu berdiri dengan sendirinya, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengatahuan). Ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih daripada satu arti. Olah karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana yang untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Jadi dalam arti yang pertama ini ilmu seumumnya.
Terdapat bermacam-macam pengertian ilmu menurut ilmuwan barat. Yang salah satunya yakni pengertian ilmu menurut El-Baz yakni: Ilmu itu sifatnya menginternasional. Menurut Norman Campbell bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang berguna dan praktis dan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu dalam bentuk inilah yang memainkan suatu bagian begitu besar dalam penghancuran perang dan sebagaimana dituntut, harus memainkan suatu bagian sama besarnya dalam pemulihan perdamaian. Ilmu dapat berbuat untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan bahwa ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai motode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Sedangkan Ernan McMullin mengatakan bahwa ilmu adalah aktivitas manusia yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teologis.
D. Epistimologi ilmu dalam konsep Ilmuwan Barat
Dalam prespektif ilmuwan barat untuk memperoleh ilmu ada tiga faham, yaitu :Empirisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman dan pengindraan), Rasionalisme (cara memperoleh ilmu bersumber dari akal), Fenomenalisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman yang dihubungkan dengan akal) dan Intuisionisme (cara memperoleh ilmu melalui instuisi sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisis)
Peradaban Barat telah menjadikan ilmu sebagai problematis. Ilmu dalam Peradaban Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi dan ilmiah. Westernisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan, menolak Wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional sebagai basis keilmuan. Akibatnya, peradaban Barat telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia, (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan Kebenaran, (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, (4) membela doktrin Humanisme, (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Analisis
Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: alam ghaib (metaphysic) dan alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai Realitas Akhir.
Mengutip pandangan Ziauddin Sardar memberikan perbandingan dan ukuran-ukuran ilmu menurut Islam berbeda dengan menurut Barat, sebagai berikut : Ukuran ilmu dalam pandangan Barat: Percaya pada rasionalitas, ilmu untuk ilmu, Tidak memihak seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya, Tidak adanya bisa validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya, (Reduksionisme) cara yang dominan untuk mencapai kemajuan ilmu, (Individualisme) yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis, Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan. Sedangkan Ukuran ilmu dalam Islam: Percaya Pada wahyu, ilmu adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial, Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid, Pemihakan pada kebenaran yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, ibadah merupakan satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secaramoral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral, Adanya subjektivitas arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan ilmu bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihansubjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya, (Sintesa) cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai, Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya, Orientasi nilai, sains, sepertihalnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat, Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya tidak boleh dibuangbuang dan digunakan untuk kejahatan ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Referensi
Prof. S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta; P3M, 1986); Cf Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam (Bandung; Pustaka, 1986); M. Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung ; Mizan, 1992)
Al Qur’an Surat Al-Baqarah 29-30 dan Al Fathir 39
QS. Surat Al-Mujadalah :11
QS. . Al-Alaq:1-5
Zainuddin, Drs, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,Jakarta: Lintas Pustaka: 2006
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993), selanjutnya diringkas Islam and Secularism.
http://www.acehinstitute.org/opini_husni_islamisasi_ilmu_kontemporer.htm
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996
Jujun Suria Sumantri, 1982, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Kahsof, Lois, Elements of Philosophy, deterjemahkan oleh soejono soemargono, 2004, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Liberty.
Pengaruh Teori Belajar Behavior terhadap Model Pembelajaran
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan.
A. Macam Teori-Teori Belajar Behavior
1. Teori Koneksionisme (Edward Edward Lee Thorndike)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
2. Teori Classic Conditioning (Ivan Petrovich Pavlov)
eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa daging sebagai makanan anjing yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
3. Teori Kontiguitas Conditioning (Edwin R Guthrie)
Dijelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar perserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Dalam teori ini Guthrie mengasosiasikan rangsangan dan respon secara tepat, sehingga untuk penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar dikelas adalah : Guru harus mengarahkan performa siswa, membaca atau mencatat sebagai perangsang siswa untuk menghafal, Dalam hal ini Guru dalam mengelola kelas dianjurkan tidak memerintahkan secara langsung, akan tetapi memberikan stimulus yang berakibat munculnya prilaku sebagai respon dari siswa
4. Teori Operant Conditioning (Burrhus Frederic Skinner)
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Model pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
5. Teori Systematic Behavior (Clark Hull)
Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.salah satu konsep yang paling penting dalam teori Hull adalah Kebiasaan yang kuat bagi sebuah stimulus yang diberikan
B. Pengaruh Teori Behavior dalam Pembelajaran
Pengaruh teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
Mementingkan pengaruh lingkungan
Mementingkan bagian-bagian
Mementingkan peranan reaksi
Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
C. Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
D. Kelemahan dan kelebihan teori belajar Behavior
Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Namun kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
E. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar menurut teori Behavioristik merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon.
F. Daftar Pustaka
Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
A. Macam Teori-Teori Belajar Behavior
1. Teori Koneksionisme (Edward Edward Lee Thorndike)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
2. Teori Classic Conditioning (Ivan Petrovich Pavlov)
eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa daging sebagai makanan anjing yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
3. Teori Kontiguitas Conditioning (Edwin R Guthrie)
Dijelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar perserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Dalam teori ini Guthrie mengasosiasikan rangsangan dan respon secara tepat, sehingga untuk penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar dikelas adalah : Guru harus mengarahkan performa siswa, membaca atau mencatat sebagai perangsang siswa untuk menghafal, Dalam hal ini Guru dalam mengelola kelas dianjurkan tidak memerintahkan secara langsung, akan tetapi memberikan stimulus yang berakibat munculnya prilaku sebagai respon dari siswa
4. Teori Operant Conditioning (Burrhus Frederic Skinner)
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Model pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
5. Teori Systematic Behavior (Clark Hull)
Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.salah satu konsep yang paling penting dalam teori Hull adalah Kebiasaan yang kuat bagi sebuah stimulus yang diberikan
B. Pengaruh Teori Behavior dalam Pembelajaran
Pengaruh teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
Mementingkan pengaruh lingkungan
Mementingkan bagian-bagian
Mementingkan peranan reaksi
Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
C. Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
D. Kelemahan dan kelebihan teori belajar Behavior
Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Namun kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
E. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar menurut teori Behavioristik merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon.
F. Daftar Pustaka
Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.