ANANG SUGIONO
Selasa, 02 Juni 2009
ILMU DALAM PRESPEKTIF ISLAM DAN BARAT
Pengantar
A. Hakekat dan Fungsi Ilmu
Dalam perbincangan sehari-hari terdapat beberapa kata yang semakna yaitu pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) adalah kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya mengenai suatu hal tertentu, sedangkan ilmu (sains, science) dalam pengertian sehari-hari tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam arti se¬sungguhnya yang dirujuk dari konsep Al Qur’an. Dalam pengertian sehari-hari ilmu adalah pengetahuan yang telah disistematisir, disusun teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
Ilmu (sains) diperoleh dan disusun tidak cukup hanya dari pencaman dan perenungan melainkan berkembang melalui pencerapan indera dan penginderaan (sensation), pengumpulan data, perbandingan data, penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran, dan penakaran meningkat dari data-data yang bersifat khusus menuju ke kesimpulan yang umum (induksi) atau sebaliknya, dari data yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus (deduksi). Ilmu (sains) sepenuhnya bersifat empirik. Sesuatu yang tidak bisa diindera, diukur, ditimbang atau dilihat tidak bisa menjadi obyek ilmu (sains). Kumpulan dari ilmu (sains) disebut dengan pengetahuan.
Isi
A. Ilmu menurut konsepsi Islam
Ilmu menurut konsepsi Islam secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu ilmu Allah yang mencakup segala sesuatu, termasuk yang dapat disaksikan oleh indera manusia maupun yang tidak bisa disaksikan oleh indera (gaib) yang hanya bisa diketahui oleh manusia lewat wahyu. Kedua adalah, ilmu manusia meliputi ilmu perole¬han dan ilmu laduni. Ilmu perolehan yang dapatkan lewat berbagai perenungan dan pembuktian, sedangkan ilmu laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih-Nya. Dalam hal ini, hanya mereka yang bersih dan suci hatinya yang berpel¬uang mendapatkan ilmu ini. Dan jika ia mendapatkan ilmu ini maka terkuaklah sebagian besar rahasia alam dan kehidupan di hadapannya. Sampai di sini cukup jelas bahwa kata ilmu dalam Al Qur’an tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam pengertian sehari-hari. Islam memandang bahwa terdapat kesatuan penciptaan, kesatuan pengaturan, dan kesatuan mekanisme dalam alam kehidupan. Salah satu tujuan ilmu adalah mengetahui hakekat realitas termasuk segala mekanisme di dalamnya baik untuk kepentingan pragmatis maupun untuk lebih jauh lagi untuk mengenal Sang Pencip¬ta. Ilmu menurut konsepsi Islam tidak melihat keterpisahan antara yang riil dan yang gaib, sebagai konsekuensinya Islam melihat bahwa peristiwa atau sebuah meka¬nisme alam tidak bisa dijelaskan hanya secara empirik sebagaimana dikemukakan oleh sains. Dengan demikian ilmu dalam pengertian sehari-hari yang tidak lebih sebatas sains, merupakan reduksi dan tidak mungkin mampu menca¬pai hakekat realitas. Anehnya sains (ilmu) yang hanya sebuah reduksi ini dipercaya mampu menjelaskan segala-galanya. Inilah barangkali salah satu penyebab perkem¬bangan sains tidak menambah kedekatan kita dengan Sang Pencipta, bahkan sebaliknya telah menimbulkan kerusakan kehidupan. Ilmu yang benar akan mampu meningkatkan ketakwaan seseorang terhadap Tuhannya. Salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifatullah fil ardl).
B. Epistimologi ilmu dalam konsep Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu. Dalam islam ada tiga Epistimologi untuk mengkonteruk ilmu, yaitu Epistomologi bayani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan batin dalam teks Al-Qur’an dan Al-hadits), epistimologi irfani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pengalaman langsung atas realitas spiritual) dan epistimologi burhani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pemikiran atas dasar rasio atau akal yang dilakukan dengan dalil-dalil logika)
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akherat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilm,u akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan benar tidaknya manusia dalam mencari kebenaran. Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium.
C. Ilmu menurut konsepsi Ilmuwan Barat
Dalam konsep barat, Ilmu itu berdiri dengan sendirinya, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengatahuan). Ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih daripada satu arti. Olah karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana yang untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Jadi dalam arti yang pertama ini ilmu seumumnya.
Terdapat bermacam-macam pengertian ilmu menurut ilmuwan barat. Yang salah satunya yakni pengertian ilmu menurut El-Baz yakni: Ilmu itu sifatnya menginternasional. Menurut Norman Campbell bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang berguna dan praktis dan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu dalam bentuk inilah yang memainkan suatu bagian begitu besar dalam penghancuran perang dan sebagaimana dituntut, harus memainkan suatu bagian sama besarnya dalam pemulihan perdamaian. Ilmu dapat berbuat untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan bahwa ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai motode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Sedangkan Ernan McMullin mengatakan bahwa ilmu adalah aktivitas manusia yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teologis.
D. Epistimologi ilmu dalam konsep Ilmuwan Barat
Dalam prespektif ilmuwan barat untuk memperoleh ilmu ada tiga faham, yaitu :Empirisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman dan pengindraan), Rasionalisme (cara memperoleh ilmu bersumber dari akal), Fenomenalisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman yang dihubungkan dengan akal) dan Intuisionisme (cara memperoleh ilmu melalui instuisi sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisis)
Peradaban Barat telah menjadikan ilmu sebagai problematis. Ilmu dalam Peradaban Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi dan ilmiah. Westernisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan, menolak Wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional sebagai basis keilmuan. Akibatnya, peradaban Barat telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia, (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan Kebenaran, (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, (4) membela doktrin Humanisme, (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Analisis
Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: alam ghaib (metaphysic) dan alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai Realitas Akhir.
Mengutip pandangan Ziauddin Sardar memberikan perbandingan dan ukuran-ukuran ilmu menurut Islam berbeda dengan menurut Barat, sebagai berikut : Ukuran ilmu dalam pandangan Barat: Percaya pada rasionalitas, ilmu untuk ilmu, Tidak memihak seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya, Tidak adanya bisa validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya, (Reduksionisme) cara yang dominan untuk mencapai kemajuan ilmu, (Individualisme) yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis, Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan. Sedangkan Ukuran ilmu dalam Islam: Percaya Pada wahyu, ilmu adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial, Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid, Pemihakan pada kebenaran yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, ibadah merupakan satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secaramoral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral, Adanya subjektivitas arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan ilmu bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihansubjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya, (Sintesa) cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai, Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya, Orientasi nilai, sains, sepertihalnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat, Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya tidak boleh dibuangbuang dan digunakan untuk kejahatan ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Referensi
Prof. S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta; P3M, 1986); Cf Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam (Bandung; Pustaka, 1986); M. Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung ; Mizan, 1992)
Al Qur’an Surat Al-Baqarah 29-30 dan Al Fathir 39
QS. Surat Al-Mujadalah :11
QS. . Al-Alaq:1-5
Zainuddin, Drs, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,Jakarta: Lintas Pustaka: 2006
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993), selanjutnya diringkas Islam and Secularism.
http://www.acehinstitute.org/opini_husni_islamisasi_ilmu_kontemporer.htm
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996
Jujun Suria Sumantri, 1982, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Kahsof, Lois, Elements of Philosophy, deterjemahkan oleh soejono soemargono, 2004, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Liberty.
A. Hakekat dan Fungsi Ilmu
Dalam perbincangan sehari-hari terdapat beberapa kata yang semakna yaitu pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) adalah kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya mengenai suatu hal tertentu, sedangkan ilmu (sains, science) dalam pengertian sehari-hari tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam arti se¬sungguhnya yang dirujuk dari konsep Al Qur’an. Dalam pengertian sehari-hari ilmu adalah pengetahuan yang telah disistematisir, disusun teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
Ilmu (sains) diperoleh dan disusun tidak cukup hanya dari pencaman dan perenungan melainkan berkembang melalui pencerapan indera dan penginderaan (sensation), pengumpulan data, perbandingan data, penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran, dan penakaran meningkat dari data-data yang bersifat khusus menuju ke kesimpulan yang umum (induksi) atau sebaliknya, dari data yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus (deduksi). Ilmu (sains) sepenuhnya bersifat empirik. Sesuatu yang tidak bisa diindera, diukur, ditimbang atau dilihat tidak bisa menjadi obyek ilmu (sains). Kumpulan dari ilmu (sains) disebut dengan pengetahuan.
Isi
A. Ilmu menurut konsepsi Islam
Ilmu menurut konsepsi Islam secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu ilmu Allah yang mencakup segala sesuatu, termasuk yang dapat disaksikan oleh indera manusia maupun yang tidak bisa disaksikan oleh indera (gaib) yang hanya bisa diketahui oleh manusia lewat wahyu. Kedua adalah, ilmu manusia meliputi ilmu perole¬han dan ilmu laduni. Ilmu perolehan yang dapatkan lewat berbagai perenungan dan pembuktian, sedangkan ilmu laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih-Nya. Dalam hal ini, hanya mereka yang bersih dan suci hatinya yang berpel¬uang mendapatkan ilmu ini. Dan jika ia mendapatkan ilmu ini maka terkuaklah sebagian besar rahasia alam dan kehidupan di hadapannya. Sampai di sini cukup jelas bahwa kata ilmu dalam Al Qur’an tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam pengertian sehari-hari. Islam memandang bahwa terdapat kesatuan penciptaan, kesatuan pengaturan, dan kesatuan mekanisme dalam alam kehidupan. Salah satu tujuan ilmu adalah mengetahui hakekat realitas termasuk segala mekanisme di dalamnya baik untuk kepentingan pragmatis maupun untuk lebih jauh lagi untuk mengenal Sang Pencip¬ta. Ilmu menurut konsepsi Islam tidak melihat keterpisahan antara yang riil dan yang gaib, sebagai konsekuensinya Islam melihat bahwa peristiwa atau sebuah meka¬nisme alam tidak bisa dijelaskan hanya secara empirik sebagaimana dikemukakan oleh sains. Dengan demikian ilmu dalam pengertian sehari-hari yang tidak lebih sebatas sains, merupakan reduksi dan tidak mungkin mampu menca¬pai hakekat realitas. Anehnya sains (ilmu) yang hanya sebuah reduksi ini dipercaya mampu menjelaskan segala-galanya. Inilah barangkali salah satu penyebab perkem¬bangan sains tidak menambah kedekatan kita dengan Sang Pencipta, bahkan sebaliknya telah menimbulkan kerusakan kehidupan. Ilmu yang benar akan mampu meningkatkan ketakwaan seseorang terhadap Tuhannya. Salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifatullah fil ardl).
B. Epistimologi ilmu dalam konsep Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu. Dalam islam ada tiga Epistimologi untuk mengkonteruk ilmu, yaitu Epistomologi bayani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan batin dalam teks Al-Qur’an dan Al-hadits), epistimologi irfani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pengalaman langsung atas realitas spiritual) dan epistimologi burhani (cara memperoleh ilmu melalui pendekatan pemikiran atas dasar rasio atau akal yang dilakukan dengan dalil-dalil logika)
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akherat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilm,u akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan benar tidaknya manusia dalam mencari kebenaran. Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium.
C. Ilmu menurut konsepsi Ilmuwan Barat
Dalam konsep barat, Ilmu itu berdiri dengan sendirinya, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengatahuan). Ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih daripada satu arti. Olah karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti mana yang untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Jadi dalam arti yang pertama ini ilmu seumumnya.
Terdapat bermacam-macam pengertian ilmu menurut ilmuwan barat. Yang salah satunya yakni pengertian ilmu menurut El-Baz yakni: Ilmu itu sifatnya menginternasional. Menurut Norman Campbell bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang berguna dan praktis dan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu dalam bentuk inilah yang memainkan suatu bagian begitu besar dalam penghancuran perang dan sebagaimana dituntut, harus memainkan suatu bagian sama besarnya dalam pemulihan perdamaian. Ilmu dapat berbuat untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan bahwa ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai motode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. Sedangkan Ernan McMullin mengatakan bahwa ilmu adalah aktivitas manusia yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teologis.
D. Epistimologi ilmu dalam konsep Ilmuwan Barat
Dalam prespektif ilmuwan barat untuk memperoleh ilmu ada tiga faham, yaitu :Empirisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman dan pengindraan), Rasionalisme (cara memperoleh ilmu bersumber dari akal), Fenomenalisme (cara memperoleh ilmu melalui pengalaman yang dihubungkan dengan akal) dan Intuisionisme (cara memperoleh ilmu melalui instuisi sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisis)
Peradaban Barat telah menjadikan ilmu sebagai problematis. Ilmu dalam Peradaban Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi dan ilmiah. Westernisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan, menolak Wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional sebagai basis keilmuan. Akibatnya, peradaban Barat telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia, (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan Kebenaran, (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, (4) membela doktrin Humanisme, (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Analisis
Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: alam ghaib (metaphysic) dan alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai Realitas Akhir.
Mengutip pandangan Ziauddin Sardar memberikan perbandingan dan ukuran-ukuran ilmu menurut Islam berbeda dengan menurut Barat, sebagai berikut : Ukuran ilmu dalam pandangan Barat: Percaya pada rasionalitas, ilmu untuk ilmu, Tidak memihak seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya, Tidak adanya bisa validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya, (Reduksionisme) cara yang dominan untuk mencapai kemajuan ilmu, (Individualisme) yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis, Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan. Sedangkan Ukuran ilmu dalam Islam: Percaya Pada wahyu, ilmu adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial, Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid, Pemihakan pada kebenaran yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, ibadah merupakan satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secaramoral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral, Adanya subjektivitas arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan ilmu bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihansubjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya, (Sintesa) cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai, Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya, Orientasi nilai, sains, sepertihalnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat, Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya tidak boleh dibuangbuang dan digunakan untuk kejahatan ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Referensi
Prof. S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta; P3M, 1986); Cf Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam (Bandung; Pustaka, 1986); M. Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung ; Mizan, 1992)
Al Qur’an Surat Al-Baqarah 29-30 dan Al Fathir 39
QS. Surat Al-Mujadalah :11
QS. . Al-Alaq:1-5
Zainuddin, Drs, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam,Jakarta: Lintas Pustaka: 2006
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam karyanya Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993), selanjutnya diringkas Islam and Secularism.
http://www.acehinstitute.org/opini_husni_islamisasi_ilmu_kontemporer.htm
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996
Jujun Suria Sumantri, 1982, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Kahsof, Lois, Elements of Philosophy, deterjemahkan oleh soejono soemargono, 2004, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Liberty.
posted by ANANG SUGIONO at 20.39
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home